Peningkatan Efisiensi sebagai Dampak Terciptanya Persaingan yang Sehat antarbank Nasional dengan Pemberlakuan Publikasi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK)
Oleh:
ALDIASA PRATAMA 040810322
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA, FAKULTAS EKO.PEMBANGUNAN
Abstrak
Suku bunga dasar kredit pada dasarnya merupakan suku bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi bank dalam penentuan suku bunga kredit dan terdiri atas tiga komponen, yakni rata-rata harga pokok dana untuk kredit, biaya overhead yang dikeluarkan bank dalam proses pemberian kredit, serta margin keuntungan yang ditetapkan bank untuk aktivitas perkreditan. Harga pokok dana merupakan rata-rata biaya dana simpanan ditambah giro wajib minimum (GWM) tanpa bunga milik bank yang disimpan di BI. SBDK tersebut belum memperhitungkan komponen premi risiko yang besarnya tergantung penilaian bank terhadap risiko masing-masing debitor. Debitor baru lebih banyak memiliki risiko lebih besar dibanding debitor lama. Manfaat transparansi SBDK Pertama, menciptakan transparansi. Dengan keluarnya kebijakan pengaturan publikasi SBDK, BI sangat mengharapkan dapat tercipta transparansi. Dengan demikian, nasabah dapat membandingkan SBDK bank satu dengan bank lain yang lebih kompetitif. Kedua,membangun iklim persaingan sehat.Dengan terciptanya transparansi tersebut, BI juga berharap akan lahir iklim persaingan yang sehat antarbank nasional dalam merebut nasabah utama (prime customer). Selain memicu persaingan yang sehat, transparansi SBDK akan mendorong efisiensi.
Kata kunci: Publikasi, SBDK, Transparansi, Premi Resiko, efisiensi.
1. Pendahuluan
Pada akhir desember 2010 BI mengeluarkan Kebijakan pengaturan publikasi SBDk dengan tujuan untuk meningkatkan transparansi mengenai karakteristik produk perbankan termasuk manfaat, biaya dan risikonya untuk memberikan kejelasan kepada nasabah, dan meningkatkan "good governance" serta mendorong persaingan sehat dalam industri perbankan melalui terciptanya disiplin pasar yang lebih baik. Diberlakukannya aturan yang mewajibkan bank untuk mengumumkan SBDK-nya.Sebanyak 44 bank mengumumkan besaran Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) yang berlaku di bank mereka dengan memuat di website dan menempel pengumuman di kantor-kantor cabang.
Menurut Sandiyu Nuryono (2011) “Indonesia bukanlah negara yang pertama yang menerapkan kebijakan mengharuskan perbankan mengumumkan suku bunga dasar kreditnya. Negara yang lebih dahulu menerapkan hal ini adalah India dan negara tetangga kita yakni Malaysia.” Oleh karena itu inilah momentum bagi Indonesia untuk melaksanakan kebijakan tersebut karena Indonesia tidak boleh ketinggalan dari Negara-negara tetangga dalam hal perbankan.
Dalam rangka meningkatkan transparansi karakteristik produk perbankan, khususnya dari segi manfaat, biaya, dan risiko, Bank Indonesia pada tanggal 31 Maret 2011 akan memberlakukan ketentuan berupa Surat Edaran Ekstern tentang Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit /SBDK/Prime Lending Rate. Ketentuan ini akan mengatur mengenai tata cara penghitungan SBDK secara lebih spesifik dan jelas serta kewajiban bagi Bank untuk mempublikasikan SBDK tersebut kepada nasabah. Dengan dikeluarkannya ketentuan ini diharapkan dapat meningkatkan good governance dan mendorong persaingan yang sehat dalam industri perbankan melalui terciptanya disiplin pasar yang lebih baik serta dapat menciptakan penetapan suku bunga kredit (pricing loan product) yang lebih efisien (www.bi.go.id).
Transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) atau prime lending rate sangat diperlukan karena dapat meningkatkan good governance sekaligus sebagai sarana untuk meningkatkan efisiensi, dan mendorong kompetisi yang sehat dalam industri perbankan melalui terciptanya disiplin pasar (market discipline). Disamping itu, transparansi akan meningkatkan perlindungan konsumen karena dapat membentuk level of playing field yang sama antara bank dan nasabah/masyarakat, serta mendorong penetapan suku bunga kredit yang lebih efisien. Dengan transparansi tersebut, maka manfaat, biaya dan risiko yang terkait dengan produk kredit perbankan akan semakin mudah dipahami guna mendukung pengambilan keputusan kredit yang lebih baik oleh nasabah/masyarakat luas.
Awalnya, kebijakan SBDK ditentang sejumlah bankir tatkala Bank Indonesia mewacanakan ihwal ini sejak akhir 2010. Para bankir berpandangan bahwa kebijakan ini bukan cara yang tepat untuk mendorong penurunan suku bunga kredit. Apa pun keberatan mereka, BI tetap memberlakukan aturan ini sesuai rencana. Bank yang tidak menaati aturan ini bakal terkena sanksi. Bagaimanapun, transparansi SBDK memiliki banyak dampak positif. Kebijakan ini akan mendorong kompetisi yang sehat di lingkungan perbankan. Untuk tahap awal, bank yang pada dan/atau setelah 28 Februari 2011 berdasarkan posisi Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) mempunyai total aset Rp10 triliun atau lebih wajib melakukan publikasi informasi SBDK dalam rupiah.
Jenis kredit yang wajib diumumkan terdiri atas tiga jenis yaitu kredit korporasi, kredit ritel dan kredit konsumsi (KPR dan non KPR).(*)
2. Pengertian SBDK
Suku bunga dasar kredit pada dasarnya merupakan suku bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi bank dalam penentuan suku bunga kredit. Perhitungan SBDK merupakan hasil perhitungan dari tiga komponen, yakni perhitungan harga pokok dana untuk kredit (HPDK), lalu biaya overhead yang dikeluarkan bank dalam proses pemberian kredit, serta margin keuntungan (profit margin) yang ditetapkan untuk aktivitas perkreditan, namun belum memperhitungkan komponen premi risiko individual nasabah bank. Suku bunga dasar kredit (SBDK) belum memperhitungkan komponen premi risiko yang besarnya tergantung dari penilaian bank terhadap risiko masing-masing debitur. Dengan demikian, besarnya suku bunga kredit yang dikenakan kepada debitur belum tentu sama dengan SBDK. Suku bunga yang dibebankan pada debitor (lending rate) adalah penjumlahan dari SBDK ditambah dengan premi risiko. Sedangkan SBDK terdiri atas tiga komponen yaitu angka akhir hasil penjumlahan harga pokok dana untuk kredit (HPDK), biaya overhead yang dikeluarkan bank dalam proses pemberian kredit, dan marjin keuntungan (profit margin).
Dengan demikian, besarnya suku bunga kredit yang dikenakan pada debitur belum tentu sama dengan SBDK. Adapun premi risiko merepresentasikan penilaian bank terhadap prospek pelunasan kredit oleh calon debitur yang antara lain mempertimbangkan kondisi keuangan debitur, jangka waktu kredit dan prospek usaha yang dibiayai.
Dengan demikian, besarnya suku bunga kredit yang dikenakan pada debitur belum tentu sama dengan SBDK. Adapun premi risiko merepresentasikan penilaian bank terhadap prospek pelunasan kredit oleh calon debitur yang antara lain mempertimbangkan kondisi keuangan debitur, jangka waktu kredit dan prospek usaha yang dibiayai.
3. Kondisi Perbankan Sebelum Ketentuan Transparansi SBDK
Sebelum diberlakukannya SBDK 31 Maret 2011 perbankan belum diwajibkan untuk mempublikasikan suku bunga dasar kredit kepada masyarakat luas. Sehingga, masyarakat tidak memiliki informasi yang cukup dalam mengambil keputusan untuk mendapatkan kredit dari bank. Di sisi lain, ketika masyarakat ingin menyimpan dana di bank dalam bentuk giro, deposito dan tabungan, merekan dapat dengan mudah memperoleh informasi tentang suku bunga yang akan diperoleh. Kesenjangan informasi ini perlu diatasi guna memberikan perlindungan kepada nasabah sekaligus untuk meningkatkan transparansi usaha perbankan.
Saat ini belum ada ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai pedoman pelaporan komponen perhitungan suku bunga dasar kredit bagi bank. Pedoman pelaporan tersebut sangat diperlukan untuk mendorong peningkatan intermediasi perbankan melalui penurunan suku bunga kredit agar perbankan semakin efisien dalam menjalankan aktivitas usahanya. Bank Indonesia terus mendorong peningkatan efisiensi perbankan antara lain dengan mendorong persaingan yang sehat antarbank.
Bagi nasabah bank, mendapatkan informasi tentang suku bunga simpanan adalah perkara mudah. Sebab, besaran bunga tabungan dan deposito itu terpampang jelas di setiap counter bank. Namun untuk suku bunga kredit, tidak ada satu bank pun yang bersedia memajang atau mengumumkan secara terbuka. Kesenjangan informasi itulah yang hendak dijembatani oleh Bank Indonesia (BI). Karena itu, mulai 31 Maret kemarin, BI mewajibkan bank untuk mengumumkan suku bunga dasar kredit (SBDK) atau prime lending rate. Untuk tahap pertama, kebijakan ini hanya berlaku bagi bank dengan aset Rp 10 triliun ke atas. Ada 44 bank yang masuk kategori ini. Transparansi suku bunga kredit tersebut diharapkan bisa mendorong tata kelola yang bagus (good governance), keadilan (fairness), meningkatkan efisiensi, serta mencegah manipulasi informasi. Kebijakan ini sekaligus menjadi sarana untuk mendorong kompetisi yang sehat dalam industri perbankan melalui terciptanya disiplin pasar (market discipline) yang lebih baik sehingga bermanfaat bagi masyarakat luas. Lebih dari itu, transparansi bakal membuat semua pihak mendapatkan informasi yang sama, sehingga tercipta level of playing field yang sama pula.
4. Pengaturan Transparansi SBDK
Sebanyak 44 bank mengumumkan besaran Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) yang berlaku di bank mereka dengan memuat di website dan menempel pengumuman di kanto-kantor cabang. Beberapa website bank besar seperti BRI, BCA, Bank Mandiri, Danamon dan BNI mulai memuat pengumuman SBDK yang berlaku mulai 31 Maret sesuai kebijakan Bank Indonesia untuk membuat transparan penetapan suku bunga kredit di bank-bank. Bank melakukan publikasi informasi SBDK dalam rupiah melalui (www.bi.go.id):
v Papan pengumuman di setiap kantor Bank;
v Halaman utama website Bank, dalam hal Bank memiliki website; dan
v Surat kabar, yang dilakukan bersamaan dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September dan Desember.
Informasi SBDK yang dipublikasikan oleh Bank adalah informasi SBDK yang berlaku pada saat dipublikasikan. Setiap kali terdapat perubahan SBDK, maka perubahan tersebut wajib dipublikasikan melalui papan pengumuman di setiap kantor bank, dan halaman utama website bank (dalam hal bank memiliki website) paling lambat pada tanggal berlakunya perubahan SBDK tersebut. Sementara itu, informasi SBDK yang dipublikasikan oleh Bank melalui surat kabar adalah informasi SBDK yang berlaku sesuai dengan akhir periode Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan. Selain itu, bank wajib mencantumkan informasi yang menyatakan bahwa informasi SBDK yang berlaku setiap saat dapat dilihat pada publikasi di setiap kantor Bank dan/atau website Bank dalam hal Bank memiliki website (www.bi.go.id).
Bank wajib menyusun dan menyampaikan laporan perhitungan SBDK yang memuat rincian perhitungan masing-masing komponen SBDK sesuai dengan tabel komponen perhitungan SBDK. Bank yang tidak melakukan publikasi informasi SBDK, dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam PBI Nomor7/6/PBI/2005 tentang transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah. Bank yang tidak Bank yang tidak melakukan publikasi informasi SBDK bersamaan dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan atau Bank yang tidak menyampaikan laporan pedoman pengisian tabel komponen perhitungan SBDK bersamaan dengan penyampaian Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan kepada Bank Indonesia, dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam PBI Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor 7/50/PBI/2005 (www.bi.go.id).
5. Pengaruh dan Manfaat Diberlakukannya Transparansi SBDK
Transparansi informasi SBDK diharapkan dapat mengurangi kesenjangan informasi ini guna memberikan perlindungan bagi nasabah. Menurut Rofikoh Rokhim (2011) “Transparansi SBDK akan mengurangi masalah informasi asimetri dalam pasar kredit antara bank sebagai kreditur dan nasabah sebagai kreditur sehingga fungsi intermediasi perbankan dapat berjalan dengan lebih baik dan efisien.” Masyarakat yang menyimpan dana di bank, baik dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito dapat dengan mudah memperoleh informasi mengenai suku bunga yang diperoleh. Dalam penelitiannya, Rofikoh melihat transparansi SBDK diharapkan dapat menciptakan good governance dalam praktik perbankan, yang tidak hanya akan memiliki pengaruh positif kepada nasabah / konsumen, namun juga bank itu sendiri Transparansi yang tercipta akibat pengumuman SBDK, oleh bank juga dianggap dapat mewujudkan iklim kompetisi yang sehat, karena bank dapat memperoleh informasi mengenai tingkat SBDK yang ditawarkan oleh bank pesaing.
Dampak berikutnya, ekspansi kredit akan lebih terpacu sehingga mengurangi dana-dana menganggur perbankan maupun dana-dana yang selama ini disimpan dalam bentuk SBI. Hal itu akan memperluas akses masyarakat terhadap jasa keuangan, sejalan dengan program financial inclusion yang digaungkan BI. Sebab, 32% atau 76 juta penduduk di Indonesia sama sekali bahkan belum tersentuh oleh jasa keuangan (financially excluded. Kemudian menurut Paul Sutaryono ada beberapa manfaat utama prime lending rate. Pertama, menciptakan transparansi. Dengan lahirnya SBDK, BI sangat mengharapkan dapat tercipta transparansi. Dengan demikian, nasabah dapat membandingkan SBDK bank satu dengan bank lain yang lebih kompetitif. Dengan bahasa lebih jernih, nasabah bakal memiliki aneka referensi mengenai SBDK sebelum menentukan pilihan akhir. Nasabah akan lebih leluasa dalam menentukan bank nasional mana yang menawarkan SBDK menarik, sesuai dengan kemampuan finansial nasabah. Kedua,membangun iklim persaingan sehat.Dengan terciptanya transparansi tersebut, BI juga berharap akan lahir iklim persaingan yang sehat antarbank nasional dalam merebut nasabah utama (prime customer). Selain memicu persaingan yang sehat, transparansi SBDK akan mendorong efisiensi. Di sini bakal terlihat bank-bank mana yang boros dan tidak efisien. Mau tidak mau bank dipaksa untuk efisien, termasuk sedikit memangkas net interest margin (NIM) yang selama ini terlampau tebal. Bank yang suku bunganya mencekik bakal ditinggalkan debitor. Semua itu bermuara pada penurunan suku bunga kredit, sehingga fungsi intermediasi perbankan pun diharapkan berjalan lebih optimal.
Kredit (SBDK) yang diterapkan oleh Bank Indonesia (BI) dinilai akan berdampak positif di industri perbankan hingga sektor riil. Menurut Ekonom Universitas Indonesia Rofikoh Rokhim (2011) “kebijakan Bank Indonesia mengenai transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) akan membawa dampak positif bagi dunia perbankan dan sektor riil. Sehingga masalah spread (selisih) antara suku bunga simpanan dan suku bunga kredit dapat dimitigasi. Dengan beberapa pertimbangan, penerapan kebijakan SBDK dapat meningkatkan praktik good governance bagi industri perbankan Indonesia.”
6. Antisipasi Kemungkinan Terjadinya Kartel dan PHK dalam Transparansi SBDK
Dalam kebijakan yang mewajibkan perbankan mengumumkan suku bunga dasar kreditnya maka tiap-tiap bank akan bersaing dalam mendapatkan nasabah dan kemungkinan antar bank untuk membentuk kartel secara diam-diam untuk memperoleh keuntungan monopoli dengan menentukan suku bunga dasar kredit yang tinggi pada tiap bank yang membentuk kartel tersebut. Hal ini justru akan merugikan para nasabah dan kebijakan dari diwajibkannya mengumumkan SBDK jadi tidak bermanfaat dan tidak berfungsi sama sekali. Hal ini bertentangan dengan tujuan Bank Indonesia untuk meningkatkan transparansi produk perbankan agar tercapai persaingan yang sehat antar bank, efisiensi, dan tidak merugikan nasabah.
Namun untuk mengantisipasi agar tidak terbentuk kartel antar bank maka Bank Indonesia melalui badan pengawasannya akan selalu memantau tiap-tiap bank agar sesuai dengan ketentuan kebijakan SBDK. Sehingga tiap-tiap bank akan bersaing secara sehat untuk seefisien mungkin agar dapat memperoleh manfaat yang positif bukan malah bekerjasama dalam menentukan besarnya suku bunga kredit.
Menurut Kepala Biro Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia Irwan Lubis (2011) “pihaknya sudah memanggil bank-bank, terutama di Bank BUMN itu turut bersaing dalam pembentukan harga (suku bunga)”. Mereka tidak akan melakukan kartel suku bunga. Kesepakatan diantara sesama bank adalah untuk meningkatkan efisiensi bukan dalam pengaturan bunga kredit. Irwan Lubis memastikan tidak ada kartel atau oligopoli bank. Dan selama 18 tahun pun menjadi pengawas bank itu memang tidak ada kartel, karena bank-bank itu berbeda masing-masing penelaahan risiko dan tingkat efisiensi. Bank Indonesia berani menjamin bahwa tidak ada kartel dalam perbankan.
Selain kemungkinan terbentuknya kartel antar bank, kemungkinan buruk yang lain dari pemberlakuan ketentuan berupa Surat Edaran Ekstern tentang Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit /SBDK/Prime Lending Rate yaitu kemungkinan terjadinya PHK yang dilakukan oleh bank-bank kecil. Bila hal ini terjadi maka pasti akan merugikan karyawan-karyawan bank yang di PHK sehingga mereka tidak mempunyai penghasilan dan akan menambah jumlah pengangguran di Indonesia.
Kebijakan Bank Indonesia (BI) mewajibkan seluruh industri perbankan melakukan transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) dapat meningkatkan efisiensi serta good governance di setiap bank. Namun, pemerintah perlu mewaspadai pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai dampak dari kebijakan tersebut. Menurut Pengamat Perbankan A Tony Prasetiantono (2011) kebijakan tranparansi SBDK yang akan diterapkan BI pada akhir Maret 2011 memang baik, tapi Bank Indonesia (BI) juga harus memperhatikan dampaknya, tujuannya baik, tapi tolong hati-hati dampak negatifnya. Ada kemungkinan bank kecil merger dan dampaknya itu akan ada korban seperti PHK. Idealnya jumlah bank di Indonesia itu sekitar 75 bank, padahal sekarang 121 bank, idealnya diturunkan di bawah 100 saja. Transparansi SBDK ini bisa menginspirasi bank kecil untuk melakukan merger, meski diakuinya dalam melakukan merger itu tidak mudah.
Untuk itu, agar kemungkinan terjadinya PHK tidak terjadi maka Bank Indonesia harus melakukan antisipasi dan solusi dalam membantu bank-bank kecil tersebut. Sehingga pemberlakuan ketentuan berupa Surat Edaran Ekstern tentang Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit /SBDK/Prime Lending Rate akan bermanfaat bagi bank itu sendiri serta bermanfaat bagi nasabah bank tersebut.
7.Implementasi SBDK Kedalam Suku Bunga Kredit (Lending Rate) dan Sanksi
Peraturan baru tersebut tertuang dalam Surat Edaran Bank Indonesia NO.13/5/DPNP tanggal 8 Februari 2011 Tentang Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit {Prime Lending Rate). Peraturan ini menyebutkan, informasi SBDK dipublikasikan oleh bank melalui surat kabar bersamaan dengan pengumuman laporan keuangan publikasi triwulanan. Suku bunga dasar kredit (SBDK) tidak sama dengan suku bunga kredit yang dikenakan bank kepada debitur. Karena pihak perbankan masih harus menambahkan lagi faktor premi risiko. Bank wajib mengumumkan Suku Sunga Dasar Kredit (SBDK) kepada nasabahnya, walaupun tidak termasuk premi risikonya. Komponen premi risiko tidak dimasukkan dalam unsur SBDK, hal ini dimaksudkan agar debitur melakukan langkah-langkah yang optimal untuk dapat menekan potensi risiko sehingga premi risiko yang dibebankan oleh bank dapat ditekan serendah mungkin. Komposisi SBDK itu sendiri terdiri dari biaya dana (bergantung kepada besarnya rata-rata cost of fund), profit margin (bergantung kepada profitmarginyang dikehendaki bank untuk menjaga kinerja keuangannya), dan overhead cost (bergantung kepada tingkat efisiensi operasional bank). Sementara untuk premi risiko bergantung kepada persepsi risiko dari setiap sektor/bidang usaha debitur. Tentu dengan SBDK yang rendah dan premi risiko yang rendah akan memacu bank menetapkan suku bunga kredit yang rendah sebagai insentif atau stimulus untuk menggairahkan sektor riil. Suku bunga kredit (lending rate) adalah hasil penjumlahan SBDK dengan premi resiko. Premi resiko merepresentasikan penilaian bank terhadap prospek pelunasan kredit oleh debitur yang antara lain mempeertimbangkan kondisi keuangan debitur, jangka waktu kredit, dan prospek usaha yang dibiayai.
Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia, Halim Alamsyah (2011) dalam menetapkan suku bunga kredit umumnya bank memperhitungkan empat komponen, yakni harga pokok dana untuk kredit (HBDK) atau cost of loananble funds, biaya overhead yang dikeluarkan bank dalam proses pemberian kredit, marjin keuntungan (profit margin) yang ditetapkan untuk aktivitas perkreditan, dan premi risiko. Namun SBDK, hanya memperhitungkan tiga komponen pertama, yakni HBDK, biaya overhead dan marjin keuntungan. Jadi SBDK belum memperhitungkan komponen premi risiko individual nasabah yang besarnya tergantung dari penilaian bank terhadap risiko masing-masing debitur. Dengan demikian, besarnya suku bunga kredit yang dikenakan kepada debitur belum tentu sama dengan SBDK, keterangan tersebut wajib dicantumkan oleh bank dalam publikasi SBDK-nya sehingga tidak menimbulkan salah tafsir kepada nasabah, bahwa SBDK sama dengan suku bunga kredit.
Yang menarik, dalam kebijakan itu bank diancam akan dikenakan sanksi administratif, sesuai aturan yang berlaku:
v Pertama, Pasal 12/PBI/No 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah disebutkan bahwa bank yang melanggar ketentuan akan dikenakan sanksi administratif dan dapat diperhitungkan dengan komponen penilaian tingkat kesehatan bank (Bataviase.co.id).
v Kedua, dalam PBI 3/22/PBI/2011 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank diatur dalam Pasal 38 ayat 2 dan 3. Ayat 2 menjelaskan bank yang tidak mengumumkan laporan keuangan publikasi triwulan membayar denda paling rendah Rpl00 juta dan paling tinggi Rp500 juta. Ayat 3 disebutkan bank yang mengumumkan laporan keuangan publikasi triwulanan, namun tidak menyampaikan laporan keuangan publikasi triwulanan kepada BI akan dikenakan sanksi membayar denda Rp30juta (Bataviase.co.id).
v Ketiga, Pasal 38 ayat 4 huruf a disebutkan jika menurut penilaian BI, laporan keuangan publikasi triwulanan secara material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan atau tidak disajikan sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan atau Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, atau Surat Komentar (Management Letter) dari Akuntan Publik menyatakan adanya kelemahan mendasar dari sistem pelaporan data Bank ke Bank Indonesia, maka setelah diberi peringatan dua kali surat teguran oleh BI dengan tenggang waktu dua minggu untuk setiap teguran, bank tidak memperbaiki dan/atau mengumumkan kembali laporan dimaksud, dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar serendah-rendahnya sebesar Rpl00 juta dan setinggi-tingginya Rp500 juta (Bataviase.co.id).
Dari substansi peraturan tentang SBDK di atas, tampak jelas bahwa spiritnya adalah mendorong agar perbankan dapat menurunkan suku bunga kredit untuk mendorong sektor riil. Spirit ini semakin tampak jelas dari sanksi yang bakal dikenakan oleh BI terhadap bank-bank yang tidak mengimplementasikan peraturan BI (Bataviase.co.id).
8.Kesimpulan
Pada dasarnya SBDK adalah suku bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi Bank dalam penentuan suku bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah Bank. SBDK merupakan hasil perhitungan tiga komponen yaitu Harga Pokok Dana untuk Kredit atau HPDK, biaya overhead yang dikeluarkan Bank dalam proses pemberian kredit, dan marjin keuntungan (profit margin) yang ditetapkan untuk aktivitas perkreditan. Perhitungan SBDK tersebut belum memperhitungkan komponen premi resiko individual nasabah Bank yang besarnya tergantung dari penilaian bank terhadap resiko masing-masing debitur. Dengan demikian, besarnya suku bunga kredit yang dikenakan kepada debitur belum tentu sama dengan SBDK (www.bi.go.id).
Menurut Paul Sutaryono ada beberapa manfaat utama prime lending rate. Pertama, menciptakan transparansi. Dengan lahirnya SBDK, BI sangat mengharapkan dapat tercipta transparansi. Dengan demikian, nasabah dapat membandingkan SBDK bank satu dengan bank lain yang lebih kompetitif. Dengan bahasa lebih jernih, nasabah bakal memiliki aneka referensi mengenai SBDK sebelum menentukan pilihan akhir. Nasabah akan lebih leluasa dalam menentukan bank nasional mana yang menawarkan SBDK menarik, sesuai dengan kemampuan finansial nasabah. Kedua, membangun iklim persaingan sehat.Dengan terciptanya transparansi tersebut, BI juga berharap akan lahir iklim persaingan yang sehat antarbank nasional dalam merebut nasabah utama (prime customer). Selain memicu persaingan yang sehat, transparansi SBDK akan mendorong efisiensi.
Dalam kebijakan transparansi SBDK kemungkinan bisa timbul kartel sehingga BI akan selalu mengawasi dan mengantisipasi agar tidak timbul kartel. Oleh karena itu BI menjamin tidak akan ada kartel. Selain kartel, kemungkinan akan terjadi PHK pada bank kecil yang asetnya dibawah 10 triliun, karena bank-bank kecil kemungkinan akan melakukan merger agar dapat bersaing dengan bank besar (asset diatas 10 triliun). Konsekuensi dari merger antar bank kecil maka akan timbul PHK, meskipun melakukan merger bukan hal yang mudah bagi suatu bank.
Dalam kebijakan itu transparansi SBDK bank diancam akan dikenakan sanksi administratif, sesuai aturan yang berlaku . Pertama, Pasal 12/PBI/No 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah disebutkan bahwa bank yang melanggar ketentuan akan dikenakan sanksi administratif dan dapat diperhitungkan dengan komponen penilaian tingkat kesehatan bank. Kedua, dalam PBI 3/22/PBI/2011 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank diatur dalam Pasal 38 ayat 2 dan 3. Ayat 2 menjelaskan bank yang tidak mengumumkan laporan keuangan publikasi triwulan membayar denda paling rendah Rpl00 juta dan paling tinggi Rp500 juta. Ayat 3 disebutkan bank yang mengumumkan laporan keuangan publikasi triwulanan, namun tidak menyampaikan laporan keuangan publikasi triwulanan kepada BI akan dikenakan sanksi membayar denda Rp30juta. Ketiga, Pasal 38 ayat 4 huruf a disebutkan jika menurut penilaian BI, laporan keuangan publikasi triwulanan secara material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan atau tidak disajikan sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan atau Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, atau Surat Komentar (Management Letter) dari Akuntan Publik menyatakan adanya kelemahan mendasar yang ada dari sistem pelaporan data Bank ke Bank Indonesia, maka setelah diberi peringatan dua kali surat teguran oleh BI dengan tenggang waktu dua minggu untuk setiap teguran, bank tidak memperbaiki dan atau mengumumkan kembali laporan yang dimaksud, dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar serendah-rendahnya sebesar Rpl00 juta dan setinggi-tingginya sampai dengan nilai Rp.500 juta.